DEMOKRASI YANG DIKENDALIKAN OLIGARKI
![]() |
Sumber: Google_Demokrasi_Oligarki |
Indonesia merupakan negara yang menganut politik Demokrasi, Seperti yang dikemukakan oleh Filsuf, Jean-Jacques Rousseau bahwa sudah seharusnya setiap kebijakan atau wacana politik bergulir dengan mengedepankan prinsip kebaikan bersama atau common good yakni kebaikan warga Negara. Lantas, apa yang terjadi dengan Negara Indonesia saat ini? Apakah demokrasi ideal tersebut tidak terwujud di Indonesia? Benarkan politik demokrasi sudah tercampur dengan politik oligarki?
Istilah oligarki berasal dari bahasa Yunani, Oligarkhes yang berarti diperintah atau diatur oleh beberapa orang. Merriam-Webster mengemukan oligarki diartikan sebagai pemerintahan yang diatur oleh beberapa orang, sebelum kemudian berubah menjadi kelompok kecil yang melakukan kontrol terhadap pemerintahan untuk tujuan korupsi atau kepentingan pribadi. Sedangkan pada konteks Indonesia, merujuk pada pandangan professor di Northwestern University, Jeffrey A. Winters, oligarki didefinisikan sebagai politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan materil. Menurut Aristoteles, oligarki secara literalnya didefinisikan sebagai kekuasaan oleh segelintir orang yang merupakan manifestasi pemerintahan yang buruk. Karena sifatnya yang elitis dan ekslusif, terlebih lagi biasanya hanya beranggotakan orang-orang bermodal, oligarki ini cenderung tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat.
Thomas Aquinas, mengemukakan istilah ologarki sebagai kekuasaan kelompok kecil, dalam oligarki ini penguasa negara menindas represi ekonomi. Penguasa oligarki ini ialah orang-orang yang memiliki harta kekayaan yang melimpah. (Suhelmi, 2001). Ciri-ciri Negara yang menganut sistem pemerintahan Oligarki ini diantaranya, Kekuasaan dipegang oleh kelompok kecil masyarakat, terjadi ketidaksetaraan ataupun kesenjangan dari segi material yang cukup ekstrim, uang dan kekuasaan merupakan hal yang tidak terpisahkan, kekuasaan hanya untuk mempertahankan kekayaan. "Jefrey winters, selaku analisis politik mengatakan bahwa demokrasi Indonesia ternyata dikuasai oleh kelompok oligarki, akibatnya sistem demokrasi di Indonesia semakin jauh dari cita-cita serta tujuan untuk mensejahterakan rakyat,”
Tercatat 2019 lalu, maraknya kejanggalan-kejanggalan yang muncul dan menjadi problematika di negeri ini. Kejanggalan tersebut muncul dari berbagai kebijakan pemerintah seperti revisi UU KPK, RKUHP, Amandemen UUD 1945, dan masifnya politik akomodatif yang membuat koalisi pemerintah begitu gemuk hal ini semakin memperlihatkan bahwa politik oligarki benar-benar diterapkan di Indonesia. Selama ini tidak jarang masyarakat beranggapan bahwa pemerintah merupakan pihak yang senantiasa diharapkan sebagai malaikat pelindung yang dapat menciptakan kesejahteraan dan mendistribusikan keadilan secara merata. Namun, realitanya alih-alih yang dianggap sebagai malaikat pelindung justru kerap kali menciptakan kecemasan dan keriuhan publik melalui kebijakan-kebijakan yang dinilai tidak berorientasi untuk kesejahteraan rakyatnya.
![]() |
Sumber:Google.Politik.Oligarki |
Apakah benar sistem politik di Indonesia ini merupakan sistem politik campuran antara politik demokrasi dengan politik oligarki?
Saya rasa kita semua masih ingat dengan peristiwa demonstrasi besar-besaran rekan-rekan mahasiswa yang mewakili dari hampir seluruh penjuru negeri ini. Tepat pada 23 september lalu, Peristiwa ini menjadi demonstrasi terbesar dalam dua dekade terakhir ini. Peristiwa ini di tenggarai karena keputusan presiden RI dan DPR mengesahkan revisi UU KPK yang dinilai sebagai upaya untuk melemahkan lembaga antirasuah tersebut.
Bukan hanya prihal Revisi UU KPK, tuntutan yang tidak kalah penting nya ialah terkait RKUHP yang juga dinilai kontraversi dan berpotensi menimbulkan banyak kerugian. Berbagai wacana-wacana politik lain yang kian muncul seperti amandemen UUD 1945 yang ingin mengubah pasal 7 dengan tujuan perpanjangan Periode jabatan presiden. Bahkan baru-baru ini Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMMAPPI) Lucius Karus menyebut bahwa para anggota DPR RI saat ini telah kehilangan Nurani dan empatinya, betapa tidak di ditengah pandemi covid-19 justru pemerintah seringkali membuat kegaduhan publik dibandingkan dengan usaha memperjuangkan kepentingan rakyat saat pandemi melanda bumi pertiwi ini.
Tepat beberapa waktu lalu Pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan terkait pembahasan RUU-RUU yang kontraversial di tengah pandemi ini seperti pembahasan DPR terkait RUU Cipta Kerja yang diangggap hanya memberikan keruntungan bagi pengusaha dan pemodal sedang berdampak kerugian bagi kalangan buruh atau pekerja, pembahasan kembali Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU permasyarakatan yang juga telah ditentang keras oleh masyarakat melalui demonstrasi di berbagai daerah, selain itu dikeluarkannya Perpu darurat No 1 tahun 2020 tentang penyelamatan sektor keuangan yang diklaim sebagai dampak dari pandemi covid-19 alih-alih dengan tujuan untuk menyelamatkan sektor keuangan, ekonomi di tengah pandemi. Hal-hal tersebut yang secara tidak langsung benar-benar menjadi kobaran api ditengah diskursus politik publik di negeri ini.
Fakta di atas menjadi bukti bahwa demokrasi yang berjalan saat ini bukan hanya mengancam kehidupan publik, tapi juga mengancam demokrasi itu sendiri. Pelaksanaan demokrasi hanya menjadi aktivitas mencari segala cara untuk mencapai tujuan tanpa mempersoalkan apakah cara yang digunakan sesuai dengan nilai-nilai etis, serta apakah tujuan yang ditentukan dapat dibenarkan secara rasional. Masyarakat tidak bisa dibodohi terus-menerus, kekecewaan publik lama kelamaan akan menjadi boomerang bagi elit-elit politik yang menyimpang. Betapapun banyaknya dinamika, semua ini harus menjadi pelajaran bagi kita dalam memperbaiki demokrasi. Pelaksanaan demokrasi haruslah memperhatikan unsur kompetensi dan integritas bukan sekedar mobilitas dan partisipasi. Dan kita semua masih optimis prinsip itu masih ada di hati dan pundak para pemimpin bangsa ini. Semoga….
Keren kak essay nya
BalasHapus